Ikan ya BARONANG, masa NGESOT?

[REHAT]

Seorang Ibu “blusukan” di pasar ikan. Bolak-balik bertanya pada pedagang ikan, tapi selalu tidak jadi membeli karena alasan yang dicari-cari. Beginilah kira-kira dialognya:

Ibu : Ini ikan apa, Bang?

[sumber : http://jasminelifi.files.wordpress.com/2008/06/yellowmackerel.jpg]

Pedagang : Ikan KEMBUNG, Bu!

Ibu : Ikan kembung kok kempes?

Pedagang : ???

Ibu : Kalau yang ini ikan apa, Bang?

[sumber : https://mat.or.id/wp-content/uploads/2012/03/4b0bf2ef4e8de.gif?w=300]

Pedagang : Ikan BELANAK, Bu!

Ibu : Eh Bang, ikan bertelur, bukan BELANAK.

Pedagang :  !!!

Ibu : Nah, ini ikan cantik. Apa namanya, Bang?

Pedagang : Ikan BARONANG.

[sumber : https://mat.or.id/wp-content/uploads/2012/03/baronang_susu1.jpg?w=300]

Ibu : Namanya ikan ya pasti BARONANG, mana ada ikan ngesot?

Pedagang : @#$%^&*()

“Menertawakan” Guru

“Pulang kampung, nih!”

Begitu cara Obama menarik perhatian audiens, dengan menggunakan bahasa Indonesia, ketika mengawali pidato, saat berkunjung ke Indonesia.

Obama adalah “anak Menteng” yang menjadi Presiden Amerika Serikat.

Saya bukan Obama, namun saya melakukan hal yang sama. Saya menggunakan “bahasa keguruan” (bahasa yang dikenal baik oleh audiens) ketika menjadi instruktur Diklat Guru.

Pertama, saya memperkenalkan diri sebagai putra seorang Guru. Istri saya, seorang Guru. Kakak dan pasangannya (suami atau istri) yang menjadi Guru, 6 orang. Sayapun seorang Guru. Dosen kan pada hakikatnya juga Guru.

Namun, ada juga yang membedakan, Guru mengajar siswa. Sedangkan yang mengajar mahasiswa adalah Maha Guru atau Bathara Guru.

Kedua, saya selalu membesarkan hati para Guru. Namun, bukan meninabobokan dengan memberi mereka gelar “pahlawan tanpa tanda jasa”. Saya mengungkapkan dengan jujur, kualitas hidup Guru “sekarang” jauh lebih baik daripada ketika Ayah saya menjadi Guru.

Sebagai contoh konkrit, saya share pada Guru peserta Diklat. Doeloe, jika ada seorang anak perempuan menangis, diberi mainan–makanan tidak juga berhenti menangis, maka Ayahnya mengancam,

“Jika kamu terus saja menangis, kalau sudah besar nanti, akan Ayah nikahkan dengan Guru.”

Saking takutnya menjadi pendamping hidup Guru, anak kecil itu serta merta berhenti menangis.

Sebagian besar audiens, yang notabene para Guru, tertawa.

Kisah “satire” diatas tentu tidak akan terjadi lagi, karena sekarang kesejahteraan Guru  telah meningkat. I hope.

[tweetmeme only_single=”false”]

Elang

puisi Mahasiswa Indonesia
 
para elang keluar sarang
demi terdengar teriak serak
si kecil tikus dan katak
di langgar ular
 
dengan satu tukikan
di iring lengking lepas
elang patuk ular bisa
kepala dua
 
pedulikan laras senapan
dan ketika picu terpacu
patahlah sayap
elangpun di sangkar
 
biar kau sangkar seribu
pasti kan ada beribu
elang setia pada Ibu
terbang di langit negeriku

Peri Kecil

kepakkan kepak kecil
arung lepas langit luas
lepas seperti angin
seperti kau ingin
 
melangit betapapun sulit
sekeras apa panas
sedingin apapun angin
pada langit cerah atau resah
 
kepak tetap kepaklah
langkah tetaplah langkah
acuhkan lelah
yang pasti di tiap langkah
 
terbang setinggi kau bisa
pergi kemana kau suka
tapi pulanglah
begitu kau luka

Merdeka

kita merdeka beraksi

tanpa melukai

orang lain dan diri sendiri

 

kita merdeka berulah

tanpa membuat resah

mereka yang tak bersalah

 

kita merdeka berkata

tanpa mendera

para lawan bicara

 

kita merdeka bertindak

tanpa merusak

fasilitas orang banyak

 

kita merdeka belajar

tanpa membuat gusar

mereka yang sabar

 

kita merdeka bekerja

tanpa meraja

namun tetap bersahaja

 

kita merdeka berlaku

tanpa membuat malu

keluargamu

 

kita merdeka bertanding

tanpa menuding

dan membuat lawan terpelanting

 

kita merdeka berlaga

tanpa membuat duka

para kolega