“Menertawakan” Guru

“Pulang kampung, nih!”

Begitu cara Obama menarik perhatian audiens, dengan menggunakan bahasa Indonesia, ketika mengawali pidato, saat berkunjung ke Indonesia.

Obama adalah “anak Menteng” yang menjadi Presiden Amerika Serikat.

Saya bukan Obama, namun saya melakukan hal yang sama. Saya menggunakan “bahasa keguruan” (bahasa yang dikenal baik oleh audiens) ketika menjadi instruktur Diklat Guru.

Pertama, saya memperkenalkan diri sebagai putra seorang Guru. Istri saya, seorang Guru. Kakak dan pasangannya (suami atau istri) yang menjadi Guru, 6 orang. Sayapun seorang Guru. Dosen kan pada hakikatnya juga Guru.

Namun, ada juga yang membedakan, Guru mengajar siswa. Sedangkan yang mengajar mahasiswa adalah Maha Guru atau Bathara Guru.

Kedua, saya selalu membesarkan hati para Guru. Namun, bukan meninabobokan dengan memberi mereka gelar “pahlawan tanpa tanda jasa”. Saya mengungkapkan dengan jujur, kualitas hidup Guru “sekarang” jauh lebih baik daripada ketika Ayah saya menjadi Guru.

Sebagai contoh konkrit, saya share pada Guru peserta Diklat. Doeloe, jika ada seorang anak perempuan menangis, diberi mainan–makanan tidak juga berhenti menangis, maka Ayahnya mengancam,

“Jika kamu terus saja menangis, kalau sudah besar nanti, akan Ayah nikahkan dengan Guru.”

Saking takutnya menjadi pendamping hidup Guru, anak kecil itu serta merta berhenti menangis.

Sebagian besar audiens, yang notabene para Guru, tertawa.

Kisah “satire” diatas tentu tidak akan terjadi lagi, karena sekarang kesejahteraan Guru  telah meningkat. I hope.

[tweetmeme only_single=”false”]

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.